Rabu, 12 November 2008

BERBINCANG DENGAN OPICK

Oleh Ersis Warmansyah Abbas
OPICK … Opick. Betapa tidak surprise dan bangga berbincang dengan pelantun album-album kerohanian (Islamis) yang tengah berkibar. Pada anak-anak muda pekerja keras, dan cerdas, tanpa peduli profesi mereka, selayknyalah sangat apresiatif dan salut. Sebaliknya, kalau yang pemalas, banyak alasan, hobi berkilah, tentu susah untuk tidak jengkel.
Dalam komarasi pribadi, bisa jadi, tersebab ‘kegagalan’ hidup sendiri yang kemudian berharap agar mereka jangan konyol seperti saya. Opick, anal muda itu, berhasil ‘menaklukan’ Indonesia pada tataran tertentu. Teringat Yusuf Mansur yang baru beberapa minggu lalu berbincang akrab. Wualah mana Yusuf Mansur Mas, kog ngak dibawa sekalian, tanya saya.
Sudahlah. Rupanya Hanung, Opick, dan Yusuf sudah lama membincangkan pebuatan filem religius; filem yang bukan berdasar titipan atau arahan tertentu. Tepatnya, sesuai dengan apa yang mereka mau, sesuai pandangan dan idealis.
Hal ini yang saya dapat dari pembicaraan kami. Opick … Opick. Persepsi semakin tajam, penyanyi muda yang begitu bersahaja; tampilan, tata cara bicara, mengungkapkan pandangan. Lebih membanggakan pandangannya tentang dakwah. Bak kiai khos Opick berkata, dakwah itu kan bukan di mesjid saja. Bagian manapun Bumi Allah adalah wilayah dakwah; medan kewajiban kemanusisan kita.
Tugas kita —maksudnya para dai, kali— mengembangkan dakwah, mempertajam daya jangkau dan daya pikatnya untuk menyampaikan kalimah-kaliamah Allah dan tauladan Rasulullah. Tentu Opick ingin mengatakan, dakwah melalaui seni, melalui filem juga penting. Berbagai media dapat digunakan untuk syiar.
Pada posisi ini saya ‘nembak’ Hanung dan Opicik: “Sebaliknya juga bisa, bukan?”. “Ya’’, Hanung menjawab, dan Opick membenarkan: “Kami memilih, Sunan Kalijaga”. Lalu, perbincangan ke hal-hala dasar yang kalau dalam bahasa populernya, (hanya) demi syiar. Mereka saya goda: “Kalau aspek bisnis diabaikan, kurang cocok dengan tauladan Rasulullah”.
Perbincangan heboh. Kami terlibat diskusi sirah Rasulullah, sejak mengembalakan kambing, berdagang, sampai kawin dengan pemodal kaya raya, Siti Khadijah. Rasulullah pebisnis, dan ‘orang kaya’. Beliau bersabda: Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.
Pancingan saya, surat Al-Hujarat 13, langsung disambar Hanung dengan ayat. Saya melirik Opick Sebelum masuk, pembicraaan dialihkan. Bagaimana ‘melawan’ orang-orang pondok. Ngacir.
Asyiknya, sepanjang perbincangan riang gembira. “Jadi, serius nich ngak cari untung?. “Bukan begitu, timpal Lihan. Film ini kita buat maksimal. Hanung tidak dibebankan memikirkan untung. Sebagai pendana, saya berharap, buatlah filem yang bagus”.
Gaya Lihan tanpa permintaan itu yang justru menjadi pemicu bagi Hanung dan Opick; berusaha maksimal membuat filem klosal bagus. Beban moral, atau apa yang dinamakan Hanung, komitmen. Komitemen untuk berbuat yang terabik.
Yang seru, justru bagaimana mereka berkolaborasi. Opick dan Hanung menang sudah sering bekerjasama. Kata Opick, penggarapan video klip albunnya dilakukan Hanung. “Sampeyan kog percaya begitu saja pada lihan. Ibrat kata, baru berkenalan sudah saling percaya. Kalau Lihan apa tidak takut ‘ditipu’ orang-orang ini? Mereka terbawa menyambut girauan saya yang serius.
Bukannya marah, mereka tertawa-tawa. Gaya interview saya nampaknya sudah bocor. “Kalau kita tidak percaya sama orang, tidak usah berbisnis, tidak usah bekerjasama. Bisa pusing sendiri. Kalau saya, menyiapkan dana. Tujuannya dakwah. Selesai”.
Terkekeh-kekeh mereka mereka saya minta bercerita tentang perkenalan awal, yang sebenarnya sudah saya ketahui. Ya, begitulah, mereka tidak membagi masalah, tetapi bersepakat membuat proyek besar tanpa memberi-beban pada lainnya.
Nampaknya, peran Opick diangkat dari keinginan besar, niat tulus dalam bingkai dakwah. Sungguh, jalan yang lempang. Semoga Allah merestui jalan ini, doa Opick. Semoga. Amin.
Bagaimana Menurtu Sampeyan?
GrandKemang, Jakarta, 21 Mei 2008.

Tidak ada komentar: